Remah-Remah Luka
Remah-Remah Luka
Elang tidak pernah menyangka, kematian Bastian akan
berpengaruh sejauh ini terhadap hidupnya.
.
.
Ruas jalan itu penuh sesak
oleh dua kelompok pemuda yang mengenakan seragam berbeda. Mereka beradu fisik
satu sama lain, terlihat begitu bengis dan liar ketika menghantamkan tubuh ke
tubuh lawan. Perkelahian itu sudah berlangsung lebih dari lima belas menit.
Bunyi debam dan tulang bergemeletuk seolah saling menyahut. Tetapi dua kelompok
itu terlihat seimbang, masih saling mengepalkan tinju meski tubuh mereka penuh
keringat, debu, dan darah.
Elang, pemimpin kelompok
dari SMA berjas hijau menyeka darah di pelipis. Dengan napas memburu, ia
menarik salah seorang temannya mendekat.
“Bagaimana?”
Punggungnya dan punggung Riza
saling menempel. Mereka mempertahankan posisi itu seraya menangkis serangan
lawan demi melanjutkan konversasi.
“Masih seri,” jawab Riza.
Kakinya menendang seseorang berjas biru tua yang nyaris melayangkan tinju
padanya. “Jika terus begini, hanya masalah siapa yang mampu bertahan paling
lama.”
Elang menggertakkan geraham.
Sumpah serapah berdesis dari mulutnya ketika lelaki itu mendorong tubuh Riza
dengan kasar. Elang meraih kerah salah satu musuh, melemparnya seperti
membanting karung beras kemudian duduk di atas tubuhnya dan menghajar lelaki
itu bertubi-tubi.
“Kau merusak tatanan
rambutku, brengsek.” Tidak lagi memedulikan musuh yang berlumuran darah di
bawahnya, Elang bangkit sembari menyisir poninya dengan ruas-ruas jari.
“Benar-benar brengsek,” tambahnya setelah menendang seseorang dalam sekali
hentakan. Ia kembali sibuk membenarkan kerah jas.
Suasana berubah ketika
tahu-tahu kelompok berjas biru mengelilingi kerumunan itu. Tangan mereka
menggenggam balok kayu dan pisau lipat, menatap dengan bola mata berkilat-kilat
seakan-akan hendak menerkam mangsa dalam kandang.
“Apa yang harus kita
lakukan?” Ferdi mendekati Elang yang tampak kesal di tengah gerombolan.
Tanpa komando yang jelas,
geng berjas biru tiba-tiba menyerang. Tentu saja geng yang dipimpin Elang
dengan mudahnya tumbang. Mereka tak memiliki apa-apa selain tangan kosong.
Tetapi jika Elang selemah
teman-temannya, ia tak akan menjadi ketua geng. Lelaki itu dengan lihai
menghindari pukulan, menjegal lawan, merebut balok kayu mereka dan melemparnya
ke tangan anggota gengnya. Kondisi berbalik pelan-pelan.
Tiba-tiba terdengar raungan
sirine dari kejauhan. Seolah dikomando, segala gerakan di ruas jalan itu
mendadak berhenti beberapa saat. Menyadari suara yang mendekat, semua orang
berhamburan ke arah yang berbeda, meninggalkan potongan kayu, bahkan sepatu. Ruas
jalan itu penuh debu.
“Jangan ada yang ke markas.
Semuanya berpencar!” Itu suara Bastian, menggema di antara desing sirine dan langkah
kaki yang bertumpuk-tumpuk. Elang melihat lelaki itu melintas di hadapannya lalu
hilang di antara kekacauan.
Alih-alih ikut berlari, Elang
justru mematung di tengah jalan. Pandangannya tidak fokus. Perasaan kesal dan
tidak puas bercampur aduk di dadanya, membuat lelaki itu kembali menggertakkan
gigi.
“Apa yang kau lakukan?!”
Detik selanjutnya, Elang
menemukan dirinya berlari di samping Riza. Mereka menghindari jalan raya,
mengikuti gang-gang kecil yang berliku dengan langkah cepat. Gang yang mereka
lewati begitu sepi dan banyak belokan, menghubungkan satu tempat dengan tempat
lain.
Ketika mereka melewati
sebuah tiang listrik, langkah Elang tiba-tiba terhenti.
Ia menoleh ke belokan di
sisinya. Di sana, Bastian dikepung oleh beberapa pemuda berjas biru. Elang
kenal betul postur tubuh jangkung itu. Sayangnya sebelum Elang mendekat, geng
musuh sudah berlari menjauh. Mereka meninggalkan Bastian yang terkapar di
tanah. Darah mengucur dari lehernya.
“Bastian!”
Jantung Elang berhenti
berdetak sedetik. Perasaan terkejut menyengat tubuhnya hingga membuat Elang
nyaris terjungkal. Ia melangkah terburu-buru mendekati tubuh Bastian.
“Ya Tuhan. Ya Tuhan.” Elang
duduk, bertumpu pada dua lutut. Gemetar.
“Elang,” panggil Bastian
dengan suara teramat parau. Kelopak matanya setengah menutup. Darah mengalir
deras dari leher kanannya.
Riza yang berdiri tidak
jauh dari sana membelalakkan mata.
“Kau harus bertahan, Bastian.
Kau harus bertahan,” ucap Elang. Ia buru-buru melepas jas lusuhnya, melipatnya
dengan asal lantas menekannya ke leher Bastian. Tetapi usaha itu sia-sia.
Cairan pekat tak berhenti keluar, mengalir dan menggenang di sekitar kaki Elang.
Sementara mata setengah
tertutup Bastian menatap langit-langit, sebelah tangan Elang merogoh saku
celana. Ia hendak menelepon 911 tetapi jari-jarinya terlanjur basah oleh darah.
Membuka lock screen saja kesulitan.
Dengan mata berair, Elang
menengadah, menatap Riza dengan tatapan ngeri. “ , kita harus
menyelamatkannya. Kita tak bisa membiarkan Bastian di sini.”
Riza kehabisan kata-kata.
Sementara itu, raungan
sirine polisi terdengar makin kencang, seakan-akan hendak menyergap mereka
dalam hitungan detik.
“Bantu aku! Jangan diam
saja!” erang Elang kasar.
Usaha yang kesekian,
akhirnya ia dapat tersambung ke 911. Akan tetapi tatkala mulutnya baru membuka,
tangan Riza terlebih dulu merebut ponsel Elang. Dilepasnya baterai ponsel itu lantas
menenggelamkannya ke saku celana.
“Jangan gila, Elang!”
Rasanya tenaga Elang
terkuras habis. Ia tak terlalu kuat untuk melawan Riza yang mencengkeram
lengannya dan memaksanya bangkit.
Bukan satu dua kali Elang
menghantam orang hingga berdarah-darah, tetapi pemandangan itu sungguh kelewat
mengerikan dan tak terbayangkan.
“Dia tak terselamatkan, Elang.
Kita harus pergi sebelum semuanya menjadi lebih buruk!”
“Apa maksudmu? Kau hendak
meninggalkan Bastian mati di sini?”
BUG!
Darah terciprat dari mulut Elang
setelah lelaki di hadapannya menghantamkan bogem mentah ke wajahnya. Elang baru
memiringkan kepala demi melihat kawannya yang terkapar dengan genangan darah
tadi, tetapi Riza terlebih dulu menarik lengan Elang kuat-kuat. Mereka
meninggalkan Bastian meregang nyawa seorang diri.
.
.
Gemericik air yang
menghantam wastafel beradu dengan deru napas dua lelaki di ruangan temaram itu.
Elang mendengar bunyi pintu dan jendela yang dikunci, pun bunyi gorden-gorden
yang ditutup, meninggalkan tempat itu sebagai kotak gelap dengan pencahayaan
lampu yang barangkali nyaris meledak.
Elang tidak bisa mengatur
napas. Kepalanya ia tenggelamkan ke wastafel, dibiarkannya air keran yang luar
biasa dingin membasahi rambut hitamnya.
“Aku yang membunuhnya.”
Itu yang pertama kali Elang
ucapkan dengan seragam putih penuh bercak darah.
“Elang,” sahut Riza,
menempelkan punggungnya di dinding.
“Aku yang membunuhnya.”
Semua orang tahu, Elang
hampir tak pernah menangis. Tentu saja, apa yang akan dikata jika seorang ketua
berandalan sekolah meneteskan air mata. Namun hari ini Elang merasa begitu
penuh. Penyesalan, nyeri di tulang, dan kilas balik kematian Bastian
mengaduk-aduk perutnya. Elang ingin muntah tetapi alih-alih lambungnya
mengeluarkan makanan, matanya justru mengeluarkan banyak air mata.
Isak tangisnya menubruk
kesunyian.
.
.
.
Dedaunan kering berserakan
di bawah kaki Elang, menemaninya bersembunyi di balik pohon besar. Elang yang
mengenakan stelan jas hitam dan kacamata berwarna senada meratapi prosesi
pemakaman belasan meter di depannya. Ia mendoakan Bastian supaya dosa-dosanya
diampuni.
Di antara kerumunan itu,
ibu dari Bastian—seorang wanita tengah baya berwajah lelah—menangis dengan
keras. Tampak meraung-raung menyesalkan kepergian putra tunggalnya.
“Sudah kuduga kau ada di sini.”
Seorang lelaki datang dan berdiri di balik punggung Elang.
“Bagaimana kita bisa saling
membunuh?” Tiba-tiba Elang bersuara. Tetapi nadanya bicaranyan nyaris konstan.
Rendah dan pelan. Seakan-akan menghapus karakter dasarnya yang emosional dan
berapi-api.
“Bukankah kita hanya melakukan
ini untuk kesenangan? Bagaimana kita bisa saling membunuh padahal kita berdiri
di atas tanah yang sama, menghirup oksigen dari udara yang sama, dan makan dari
bumi yang sama?”
Lelaki yang satunya tidak
hendak membalas, melainkan menunggu lanjutan kalimat itu.
“Riza, kau tahu apa yang
lebih buruk dari merusak hidupmu?” Elang melepas kacamata dan menarik napas
dalam-dalam. “Yaitu merusak hidup orang lain.”
“Dua tahun yang lalu, Bastian
mendatangiku dengan tubuh lebam. Dia memintaku mengajarinya berkelahi supaya
tak seorang pun dapat mengganggunya. Aku bahkan tak sudi melihat wajahnya. Bastian
terlihat mengenaskan dan lemah. Tapi dia mendatangiku lagi dan lagi.
“Ketika Bastian kupukul
habis-habisan, dia tak pernah menyerah. Saat itu aku tahu bahwa Bastian hanya
tak ingin ditindas. Dia hanya ingin membela diri, bukan menyerang orang. Tapi
aku membuatnya melangkah ke jalur yang salah.”
Kalimat terakhir Elang
diterpa angin sore yang juga menerbangkan daun-daun kering. Para pelayat mulai
bubar, meninggalkan makam Bastian yang penuh karangan bunga.
Riza berkata, “Bastian
tidak mati dengan sia-sia. Dia sudah merubah sikapmu, bahkan merubah hidupmu.”
“Itu harga yang mahal. Mana
pantas seorang lelaki dengan masa depan panjang mati, hanya demi merubah sikap
pecundang sepertiku?”
Riza mendesah pelan,
meremas sebelah bahu lelaki di depannya. “Sebaiknya kita pergi, Elang. Jas
sekolahmu ada di tempat Bastian meninggal. Polisi mencarimu.”
.
.
“Apa yang akan kita
lakukan?”
Ferdi memainkan kunci motor
di tangannya. “Tentu saja balas dendam. Apa lagi?”
Semua mata lantas tertuju
pada Elang. Badannya duduk merosot pada sofa tunggal. Kaki kirinya ditekuk di
atas tumit kaki kanan. Biasanya, si ketua geng memutuskan sesuatu dengan cepat.
Mengatur segala hal dengan baik dan cekatan. Namun kali ini Elang tak bicara
apa-apa, masih mematung. Entah menatap dinding yang dipenuhi grafiti atau apa.
“Apa yang kalian harapkan
dari balas dendam?” ujar Elang, membuat alis teman-temannya mengernyit dan dahi
berkerut. “Kita tidak melakukan apa-apa.” Elang melengkapi ucapannya.
“Sepertinya aku salah
dengar.”
“Telingamu baik-baik saja, Ferdi.”
Ferdi menenggelamkan kunci
ke saku celana, melompat turun dari atas meja tak jauh dari posisi Elang.
“Tunggu. Maksudmu kita membiarkan kelompok yang membunuh Bastian hidup dengan
tenang?”
Si lawan bicara tak sedikit
pun melirik. Bola matanya masih terpatri pada titik yang sama. “Siapapun yang
membunuh Bastian, hidupnya akan dihantui penyesalan. Kita tak perlu melakukan
apa-apa lagi untuk membuatnya menderita,” sahut Elang dingin.
Anggota geng yang lain
merasa tidak nyaman meski telah mengubah posisi duduknya.
“Ya! Apa yang kau bicarakan,
Elang?” erang Ferdi emosi.
Lelaki yang duduk di kursi
itu melirik Ferdi sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan. Suaranya
yang kasar dan berat membuat atmosfer di ruangan besar nan temaram itu menjadi
canggung.
“Balas dendam tidak
membangkitkan Bastian dari kuburan. Jika salah satu dari mereka mati,
mereka akan balas dendam. Seseorang dari kita akan mati lagi, lalu kita akan
balas dendam lagi. Perputaran seperti itu tidak ada hentinya. Sebaiknya gunakan
akal sehatmu sebelum hal itu terjadi.”
Setiap kata yang keluar
dari Elang begitu mengejutkan. Bahkan berhasil mengusik Riza yang semula duduk
di daun pintu berkarat sambil memandang ke luar. Anggota geng yang lain
berbisik cukup keras dengan orang di dekatnya, tak percaya bahwa ketua yang
selama ini mereka kenal kejam dan keren berkata sedemikian normal.
“Cih!” Tahu-tahu Ferdi
berdiri di depan Elang. Mau tak mau pandangan mereka bertemu. “Bastian mati
sebagai pahlawan untuk kita. Bilang saja kau takut, Elang. Aku tak percaya hal
sekecil ini mampu merusak mentalmu.”
Ada bunyi berdecit dan
hentakan kaki. Detik selanjutnya, Elang sudah mencengkeram kerah seragam Ferdi
dengan sebelah tangannya.
“Bastian tidak mati sebagai
pahlawan untuk kita atau untuk siapapun. Bastian tidak mati sebagai anak SMA
yang baik dan pintar. Melainkan dia mati sebagai berandalan.” Elang mengangkat Ferdi
lebih tinggi, menatapnya dengan bola mata berkilat-kilat. Ia melanjutkan
kalimatnya, kali ini lebih terdengar seperti erangan, “Katakan bahwa aku salah,
Ferdi. Aku yang menggiring Bastian dari anak pendiam menjadi orang brengsek.
Aku ada di dekatnya saat dia mati dengan darah menggenangi tubuhnya. Katakan
bahwa aku salah, Ferdi. Jika kalian terus begini, kalian akan mati satu persatu
sebagai berandalan tak berguna.”
BUG!
Elang menjatuhkan Ferdi ke
bumi. Ia mencampakkan Ferdi yang menahan perih dan justru mengedarkan pandangannya
ke markas geng yang dua tahun belakangan menjadi rumah keduanya. Tempat itu
sungguh hening hingga Elang bisa mendengar deru napasnya dan jantungnya yang
berpacu kencang. Oh, rasanya ia juga mendengar sesuatu dalam dirinya mati
tiba-tiba.
“Pikirkan ucapanku
baik-baik. Kalian bebas keluar geng atau tetap tinggal. Tapi jika ada yang
menganggu satu sama lain, dia akan berurusan denganku.”
Elang meninggalkan tempat
bercahaya remang itu. Ia pergi meninggalkan kursi yang selama ini hanya boleh
didudukinya, meninggalkan teman-teman yang memiliki loyalitas tinggi
terhadapnya, atau coretan di dinding yang menjadi saksi bisu eksistensinya.
Tetapi ia tak dapat
mengubah kenyataan bahwa Bastian sudah meninggal. Perasaan menyesal luar biasa
dalam itu selalu menghajar Elang habis-habisan, meninggalkannya dengan
sisa-sisa luka yang perih. Meski nantinya Elang tak lagi berkelahi, luka tadi
masih terasa acap kali ia mengingatnya.
.fin
0 komentar: